Minggu, 17 Januari 2010

SEMANGAT NASIONALISME DALAM PEMBANGUNAN DAERAH

BAB I
PENDAHULUAN

Dalam era otonomi daerah yang mulai dilaksanakan oleh daerah-daerah di dalam Negara kesatuan Republik Indonesia, tampaknya nasionalisme menjadi urgen untuk diperbincangkan kembali. Karena kondisi sosial, ekonomi, politik, hukum, budaya, dan hankam bangsa Indonesia yang sedang “sakit” ini, membutuhkan kearifan berpikir, bertindak, dan berbangsa dalam koridor keutuhan bangsa Indonesia.
Segala sesuatu yang terjadi pada akhir-akhir ini, merupakan sebuah paradoks yang luar biasa dalam kehidupan bangsa. Berlakunya UU Otonomi Daerah tidak bisa dilepaskan dengan konteksnya. Ketidakadilan antara pusat dan daerah dan tuntutan daerah untuk bisa mengelola asetnya sendiri merupakan kenyataan kontemporer bangsa Indonesia saat ini. Sementara itu, bangsa dan negara Indonesia yang masih mengalami krisis multi segi yang berkepanjangan ini, masih harus menghadapi berbagai gejolak dan goncangan pergolakan sosial dalam bentuk kerusuhan dan kekerasan masyarakat yang cenderung menjurus ke arah terjadinya disorganisasi sosial dan disintegrasi masyarakat dan bangsa Indonesia yang majemuk ini.

Tantangan disorganisasi sosial dan disintegrasi bangsa semakin terasa ketika situasi konflik semakin meningkat dalam bentuk benturan sosial dengan aksi kekerasan yang bersifat brutal dan destruktif disertai isu-isu konflik bermuatan SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan). Peristiwa kerusuhan seperti itu terjadi misalnya di Jakarta dan Solo pada Juni 1998, Jawa Timur 1998, Ambon dan Maluku (1988-sekarang), Kalimantan Barat dan Tengah (1998/1999-sekarang), Aceh (1998-sekarang), Poso (2000), dan di Jakarta pada akhir-akhir ini seperti aksi peledakan bom, demonstrasi dengan kekerasan dan perusakan, dan lain-lain. Aksi-aksi kerusuhan dan kekerasan ini cukup menggoncang masyarakat di samping menimbulkan kecemasan juga ketakutan masyarakat karena sifatnya yang destruktif. Lebih-lebih dengan banyaknya aksi-aksi penjarahan, pembunuhan, pemerkosaan, penyiksaan, pembakaran, perusakan tempat tinggal dan tempat ibadah di daerah-daerah tertentu, telah menyebabkan sebagian masyarakat Indonesia terkena imbas gejala budaya ketakutan dan budaya terror. Timbulnya kedua gejala tersebut telah menandai bahwa masyarakat sedang dilanda krisis.
Sementara itu, dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah. Otonomi daerah ternyata banyak menimbulkan masalah dan gesekan-gesekan berbagai kepentingan baik kepentingan daerah itu sendiri, antar daerah, maupun antara daerah dengan pusat. Masalahnya menjadi kompleks dan tidak bisa diselesaikan secara sembarangan pula. Otonomi itu sendiri sebenarnya bukan merupakan barang baru, namun masih juga dipahami secara berbeda-beda oleh berbagai kalangan. Hal ini menunjukkan bahwa Otonomi Daerah merupakan hal yang selalu manarik dan aktual di Indonesia. Hal ini disebabkan karena :
1. Indonesia adalah Negara Kesatuan, sehingga sebagai Negara Kesatuan, bangsa Indonesia harus terus menerus berupaya memperkokoh integrasi nasional. Dari sudut ini, perbincangan tentang Otonomi Daerah akan memperlihatkan adanya dua pendapat di dalam masyarakat. Pada satu pihak menganggap bahwa Otonomi Daerah merupakan ancaman terhadap integrasi nasional dan pada pihak lain justru berpendapat sebaliknya.
2. Negara Indonesia masih berada pada tahap membangun (negara berkembang) yang potensi sumber daya alam dan manusianya belum terkelola secara optimal. Padahal, keotonomian suatu daerah sangat ditentukan oleh sumber dana dan kemampuan manajerial daerah tersebut. Sumber dana sangat bergantung pada SDA dan kemampuan manajerial sangat bergantung pada SDM.
3. Negara Indonesia terdiri dari pulau-pulau dari segi geografis mempunyai kepadatan penduduk dan SDA yang berbeda-beda pula. Selain itu masalah hubungan antar elite politik secara horisontal maupun vertikal, masalah pengelolaan sumber daya daerah, masalah menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas dan masalah penataan organisasi pemerintah daerah merupakan hal yang akan muncul secara terus menerus dan membutuhkan kesiapan daerah untuk memanajnya. (Kartodirdjo, 2000: 6)
Jadi, sampai sekarang pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia masih menjadi masalah nasional. Berbagai perdebatan sekitar otonomi daerah pun banyak bermunculan. Antara otonomi atau federasi merupakan perdebatan tajam tentang usaha menata kembali negara Indonesia setelah reformasi ini. Namun demikian, terlepas dari perdebatan tersebut, UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah disahkan dan telah diberlakukan. Ini berarti, menjadi hal yang kurang bijak apabila kita selalu mempertajam debat tentang “otonomi atau federasi”. Yang lebih penting adalah bagaimana menyikapi UU tersebut dalam konteks perkembangan negara sekarang ini agar dalam pelaksanaannya tidak memunculkan permasalahan yang ujung-ujungnya justru memperkuat disintegrasi bangsa Indonesia. Salah satu upaya untuk mengaplikasikan pemerintahan daerah sekarang adalah dengan menyadari pentingnya dan melaksanakan nasionalisme. Hal in disebabkan karena nasionalisme Indonesia sekarang ini sedang menghadapi sebuah tantangan besar dan dipertanyakan kembali efektivitasannya, terutama dalam konteks nation building.



BAB II
PEMBAHASAN

A. Tinjauan Historis Pembangunan Daerah / Otonomi Daerah
Sebenarnya, otonomi daerah merupakan sebuah kenyataan sejarah yang sejak dahulu telah ada pada bangsa Indonesia. Semasa Kerajaan Mataram misalnya, dalam konsep kekuasaan Jawa, pemerintahan raja sebenarnya merupakan hubungan yang hirarkis antara satuan-satuan kekuasaan yang berdiri sendiri, sangat otonom, dan dapat mencukupi kebutuhan sendiri, yang secara vertikal dihubungkan oleh ikatan-ikatan perorangan di antara beberapa pemegang kekuasaan/ bupati. Proses integrasi dengan hegemoni Goa di Sulawesi Selatan misalnya, juga tidak mengurangi otonomi kerajaan masing-masing, jangankan menghapus eksistensinya. Ketika Jakarta berstatus sebagai asal dari kerajaan Banten pada abad XVII, Jakarta pun tetap mempunyai otonomi untuk dapat melakukan kontrak sendiri dengan Kompeni dan badan Perdagangan Asing lainnya. (Kartodirdjo, 1987: 92,157)
Pada masa kolonial, pemikiran tentang otonomi pun dipandang penting untuk melangsungkan eksploitasi kolonial. Politik Kolonial Belanda yang bertolak dari anggapan bahwa desa adalah tulang punggung ketentraman dan ketertiban hendak mempertahankan otonomi desa dengan segala konsekuensinya. (Kartodirdjo, 1987: 333)
Pada prinsipnya, fungsi-fungsi yang bersifat nasional berada di tangan Pemerintah Pusat antara lain fungsi keamanan, moneter, hubungan luar negeri. Fungsi-sungsi yang bersifat lokal diserahkan kepada daerah. Perkembangan desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan diawali dengan keluarnya Decentralisatie Wet 1903. Daerah otonom yang berada dibawah kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda disebut gewest, regentchap, dan stadsgemeente. Berdasarkan Wet ini, daerah diberikan tunjangan tetap dari kas negara yang merupakan jumlah dana yang dipisahkan dari budget pemerintah bagi usaha membiayai daerah-daerah.
Pertumbuhan nasionalisme setelah tahun 1906 membawa perubahan iklim pemikiran. Sejak tahun 1915 isu mengenai otonomi semakin berkumandang. Dalam atmosfir baru kecaman terhadap perwakilan lokal menjadi lebih terdengar. UU Desentralisasi 1903 kemudian direformasi dengan Wet op de Bestuur Hervorming 1922 dengan tujuan untuk memberikan jaminan mengenai otonomi dan partisipasi kepada penduduk pribumi dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan seperti dimiliki penduduk Eropa. Dengan UU ini regentschap dan groepsgemeenschap merupakan daerah otonom bercorak pedesaan, sedangkan stadsgemeente merupakan daerah otonom yang bercorak perkotaan. Kedudukan gewest, district, dan onderdistrict sebagai daerah administratif. Berdasarkan Wet ini, di Jawa dan Madura dibentuk tiga provinsi, yaitu West Java, Midden Java, dan Oost Java. Tiap-tiap provinsi dibagi menjadi regentschap yang otonom. Untuk daerah di luar Jawa dan Madura dibentuk tiga gouvernement, yaitu: Sumatera, Borneo, dan Grote Oost (Timur Besar) sebagai wilayah administratif .
Selanjutnya pada jaman Pendudukan Jepang, Indonesia dibagi dalam tiga wilayah, yaitu Sumatera berada di bawah Angkatan Darat ke-25, Jawa dan Madura berada di bawah Angkatan Darat ke-16, dan Kalimantan dan Indonesia Timur berada di bawah Angkatan Laut. Pada periode ini dapat dikatakan, pemerintahan otonomi tidak ada. Namun demikian daerah Kabupaten dan Kotapraja tetap ada dengan kekuasaan yang dijalankan oleh Kentyoo dan Sityoo. Dengan demikian tipe pemerintahan pada jaman Pendudukan Jepang boleh dikata hanya bersifat dekonsentrasi belaka atau ambtelijke decentralitatie.
Ketika Republik Indonesia lahir, para pendiri negara sudah mengamanatkan dalam Konstitusi 1945 akan adanya “daerah-daerah otonom” dalam wadah negara kesatuan RI. Sejak itu, setiap kabinet dalam sejarah pemerintahan di Indonesia selalu mengusahakan pelaksanaan asas desentralisasi pemerintah tersebut. Namun demikian, di berbagai daerah terdapat keinginan akan otonomi daerah. Selama perjuangan revolusi nasional berlangsung, federalisme disamakan dengan kolonialismedan feodalisme. Akan tetapi kini masalahnya berbeda. Kemerdekaan politis ternyta tidak berhasil mencapai tujuan-tujuan sosial dan banyak kekecewaan di daerah pelosok yang ditujukan pada Pemerintah Pusat di Jawa, yang dianggap menghabiskan sebagian besar valuta asing yang diperoleh dari propinsipropinsi di luar Jawa. Kesetiaan lokal dan regional semakin kuat sehingga mengancam kesatuan nasional. Tuntutan akan otonomi daerah memang pernah menjadi pangkal terjadinya berbagai gerakan separatisme, pergolakan dan pemberontakan daerah sekitar tahun 1950-an hingga 1960-an. Sejak itu pemerintah Soekarno tidak mau lagi ambil resiko retaknya keutuhan bangsa dan negara.
Pemerintah Orde Baru membakukan pendekatannya terhadap realisasi otonomi daerah melalui UU No. 5 tahun 1974 tentang Pemerintahan di Daerah dengan menyebut bahwa otonomi lebih merupakan kewajiban daripada hak, sehingga kontrol Pemerintah Pusat terhadap daerah menjadi amat ketat. Proses desentralisasi dalam rangka otonomi kenyataannya justru mengalami kemandegan sejak diberlakukannya UU No.4 tahun 1974 itu. Pelaksanaan dekonsentrasi menjadi dominan dan hampir semua pembangunan direncanakan oleh Pemerintah Pusat dengan Bappenasnya, pembiayaan ditentukan oleh Pusat, pelaksananya Kepala Daerah yang sekaligus menjabat sebagai Gubernur, Bupati/ Walikota sebagai penguasa tunggal di daerahnya. Demikian halnya dalam pemilihan Gubernur, Bupati/Walikota selama Era UU No. 5 tahun 1974 itu, peranan pusat dangat dominan. Berbagai kritik dari daerah pun bermunculan. Beberapa usaha pemerintah untuk mengatasi berbagai kritik atas kemandegan tersebut dilakukan antara lain dengan meluncurkan Proyek Percontohan Otonomi Daerah (PPOD) melalui PP No. 8/ 1995, namun tidak berhasil pula. Tuntutan reformasi yang semakin nyaring tentang pentingnya otonomi daerah, menyebabkan pemerintah mengeluarkan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang sekarang banyak dibicarakan ini.

B. Nasionalisme dalam Konteks Negara Bangsa
Munurut Hans Kohn (1984), nasionalisme adalah suatu paham yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan. Perasaan sangat mendalam akan suatu ikatan yang erat dengan tanah tumpah darahnya, dengan tradisi setempat, dan penguasa-penguasa resmi di daerahnya selalu ada di sepanjang sejarah dengan kekuatan yang berbeda-beda. Akan tetapi baru pada akhir abad XVIII, nasionalisme menjadi suatu perasaan yang diakui secara umum. Nasionalisme itu makin lama makin kuat peranannya dalam membentuk semua segi kehidupan, baik yang bersifat umum maupun yang bersifat pribadi. Kemudian pada akhir-akhir ini telah berlaku syarat bahwasannya setiap bangsa harus membentuk suatu negara, negaranya sendiri,dan bahwa negara itu harus meliputi seluruh bangsa. Unsur yang terpenting dalam nasionalisme adalah adanya kemauan bersama untuk hidup bersama secara nyata sebagai suatu nation. Tentang naston atau bangsa, dijelaskan oleh Ernest Renan, bahwa nation adalah mereka yang mempunyai le desire d’etre ensemble, hasrat kuat untuk hidup bersama.
Dalam perkembangannya nasionalisme itu tidak lepas dari konteks sejarahnya. Oleh karena itu ingatan kolektif suatu bangsa yang berasal dari ingatan kolektif lokal sangat berperan dalam membentuk nasionalisme. Bagi bangsa Indonesia, nasionalisme yang berkembang mempunyai dua sifat kesamaan, yaitu faktor solidaritas atas persatuan Indonesia yang menjembatani berbagai macam perbedaan daerah dan mempunyai unsur konflik (penentangan) terhadap kelompok-kelompok sosial tertentu yang dirasakan asing dan aneh. Kaum nasionalis menggerakkan kekuatannya terhadap dua hal, yaitu terhadap dominasi kekuasaan kolonial dan terhadap penguasa tradisional yang sangat feodalistis.
Nasionalisme tidak bisa dilepaskan dengan demokrasi karena keduanya menunjukkan adanya “benang merah” bahwa nasionalisme dan demokrasi merupakan kristalisasi dan institusionalisasi dari tahap lanjut perkembangan kehidupan manusia dalam bidang intelektual, ekonomi, dan politik. Jadi, wajah nasionalisme yang akan muncul banyak dipengaruhi oleh kinerja pemerintah yang sedang berkuasa dan kondisi rakyat sendiri. Nasionalisme bisa menjelma menjadi konflik, gerakan protes, dan berbagai bentuk penentangan. Faktor pemicu yang paling efektif terhadap perubahan itu adalah munculnya ketidakadilan. Kesadaran akan adanya ketidakadilan ini akan mempengaruhi legitimasi pemerintah yang selanjutnya akan mengubah hubungan antara pemerintah dengan yang diperintah. Jika pemerintah tidak mampu melaksanakan tugasnya dengan baik, sehingga menimbulkan kesengsaraan rakyat, maka rakyat akan melakukan protes.
Sementara itu, dalam perkembangan sebuah bangsa, nasionalisme menjadi dasar dan kekuatan suatu bangsa dalam membangun negara dan bangsanya. Istilah ini sering disebut sebagai nation building. Nation building pada prinsipnya merupakan sebuah proses terus-menerus menuju terciptanya sebuah negara dalam melaksanakan tugas-tugasnya atas dasar ideologinya. Dengan kata lain, nation building merupakan proses pembentukan kesatuan bangsa yang utuh. Sementara itu, nation sendiri menunjuk pada suatu komunitas sebagai kesatuan kehidupan bersama yang mencakup berbagai unsur yang berbeda dalam aspek etnik, kelas atau golongan sosial, aliran kepercayaan, kebudayaan, linguistik, dan sebagainya. Kesemuanya terintegrasikan dalam perkembangan historis sebagai kesatuan sistem politik berdasarkan solidaritas yang ditopang oleh kemauan bersama. Heterogenitas dalam berbagai segi kehidupan, unsur-unsurnya digembleng menjadi suatu homogenitas politik dan lazimnya terwujud sebagai negara nasional.
Negara nasional itu sendiri menjadi wahana yang berfungsi untuk adaptasi, mempertahankan kesatuannya, memperkokoh proses integrasinya serta mencapai tujuan eksistensinya. Negara nasional lebih efektif dan efisien dalam menopang eksistensi kelompok yang pluralistik dibanding sebagai komunitas lokal, regional, tribal, komunal, dsb. Jadi dalam perkembangan sebuah bangsa , proses integrasi menjadi isu sentral, artinya integrasi territorial dan integrasi sosiopolitik merupakan faktor dominan dalam mewujudkan unit nasional seperti sekarang ini. (Kartodirdjo, 1993:1-2)
Setelah kemerdekaan Indonesia, nasionalisme tetap berfungsi dalam nation building. Dalam proses itu, kebudayaan nasional, kepribadian dan identitas nasional, kesadaran nasional semuanya perlu dibudayakan. Untuk keperluan itu diperlukan upaya-upaya untuk menimbulkan kesadaran nasional serta memantapkan simbol identitasnya. Demikian halnya setelah pengakuan Kedaulatan Indonesia, proses nation building bergulir untuk terus menerus menciptakan Indonesia yang utuh. Penolakan terhadap federasi, pertentangan ideologi Pancasila versus Komunisme dan kemudian masalah posisi militer dalam kehidupan negara merupakan bagian dari proses nation building tersebut. Itulah sebabnya dalam proses tersebut haruslah tidak boleh melupakan, apalagi meninggalkan unsur-unsur dinamika lokal.
Persoalan nasional, biasanya bermula dari persoalan lokal. Pada kenyataannya bangsa Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk yang terdiri dari berbagai suku bangsa dengan keanekaragaman budayanya masing-masing yang tersebar di seluruh nusantara. Di Indonesia, nasionalisme berkembang melalui Pergerakan Nasional atau gerakan sosial yang mampu menciptakan arena politik selaku medium komunikasi bagi kaum terpelajar. Fungsi utamanya adalah mengintegrasikan kaum elite politik. Itulah sebabnya sebagian warga kota, massa rakyat kecil di kota-kota dan pedesan berjalan lambat, sehingga sampai kini proses demokratisasi terus menerus perlu diusahakan. Dengan demikian nasionalisme masih perlu dilembagakan di kalangan rakyat melalui segala macam wahana sistem politik negara nasional sehingga mampu menciptakan kultur politik beserta demokrasinya sesuai dengan ideologi nasional Pancasila. (Kartodirdjo, 1993:7)
Untuk menciptakan suasana demokratisasi itu, jelas bahwa ingatan kolektif lokal sangat penting. Sebagai contoh, nasionalisme yang berkembang di Nusa Tenggara Timur secara intensif baru mulai awal abad XX seiring dengan berkembangnya agama Kristen. Di Atambua, di Ende, dan pada berbagai suku di NTT penyebaran agama Katolik melalui gereja Katolik telah mengalami proses kesatuan baru sebagai umat beragama (religious community), dengan keyakinan itu mereka dipersatukan dalam bahasa, perilaku, dan sebagainya. Dengan demikian, institusi agama Kristen yang merupakan bagian dari gereja sedunia mempunyai kontribusi historis dalam proses integrasi nasional untuk membangun nation building dari masyarakat Indonesia di NTT yang heterogen.

C. Nasionalisme dalam Otonomi dan Pembangunan Daerah
Otonomi pada dasarnya adalah sebuah konsep politik, yang selalu dikaitkan atau disepadankan dengan pengertian kebebasan dan kemandirian. Sesuatu akan dianggap otonom jika dia menentukan dirinya sendiri, membuat hukum sendiri dengan maksud mengatur diri sendiri, dan berjalan berdasarka kewenangan, kekuasaan, dan prakarsa sendiri. Muatan politis yang terkandung dalam istilah ini adalah bahwa dengan kebebasan dan kemandirian tersebut, maka suatu daerah dianggap otonom kalau memiliki kewenangan (authority) atau kekuasaan (power) dalam penyelenggaraan pemerintahan terutama untuk menentukan kepentingan daerah maupun masyarakatnya sendiri.
Namun demikian, dalam pelaksanaan otonomi daerah, satu prinsip yang harus dipegang oleh bangsa Indonesia adalah bahwa aplikasi otonomi daerah tetap berada dalam konteks persatuan dan kesatuan nasional Indonesia. Otonomi tidak ditujukan untuk kepentingan pemisahan suatu daerah untuk bisa melepaskan diri dari Negara Kesatuan RI. Tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk memungkinkan daerah bersangkutan mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri untuk kepentingan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian jelaslah bahwa aplikasi pemerintahan dan pembangunan di daerah sekarang ini didasarkan pada dua sendi utama yaitu: Otonomi Daerah dan Kesatuan Nasional.
Otonomi daerah mencerminkan adanya kedaulatan rakyat dan Kesatuan Nasional mencerminkan adanya Kedaulatan Negara. Kedua kedaulatan ini sama-sama diperlukan dalam perjalanan hidup bangsa Indonesia. Dan, nasionalisme pun menjadi penting untuk “mengawal” perjalanan bangsa. Apabila dijabarkan prinsip-prinsip dasar nasionalisme, maka dapat disebutkan antara lain:
1. Cinta kepada tanah air
2. Kesatuan
3. Dapat bekerjasama
4. Demokrasi dan persamaan
5. Kepribadian dan
6. Prestasi. (Kartodirdjo, 1999: 15)
Bagi bangsa Indonesia, prinsipprinsip dasar nasionalisme tersebut tercermin dalam semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” (Unity in diversity). Dalam setiap pembangunan di daerah, nasionalisme akan tetap terjaga apabila keenam prinsip tersebut selalu dilaksanakan dan diamalkan. Memang, nasionalisme sebagai rujukan untuk membangun jauh lebih sulit diwujudkan. Diperlukan pemikiran yang konstruktif dan kemampuan strategis untuk menggunakan sumberdaya untuk mencapai sasaran-sasaran berjangka panjang sambil menyelesaikan masalah-masalah berjangka pendek, sambil menetralisasi dampak negatif dari nasionalisme dan demokrasi sebagai gerakan yang destruktif. Walaupun lebih sulit, namun nasionalisme sebagai rujukan dapat direncanakan bersama oleh pemerintah bersama lapisan kepemimpinan rakyat itu sendiri. Praktek penyusunan Rencana Pembangunan Daerah dengan melibatkan seluruh organisasi kemasyrakatan, tokoh-tokoh perguruan tinggi serta instansi pemerintah mempunyai makna penting dalam pelembagaan nasionalisme.
Prinsip cinta tanahair meletakkan setiap proses pembangunan untuk kepentingan bangsa dan negara bukan golongan apalagi individu. Adapun prinsip kesatuan diaplikasikan dalam bentuk-bentuk pembangunan yang mengutamakan kebersamaan dalam demi keutuhan NKRI dengan memperhatikan keanekaragaman sifat pluralistik dari bangsa Indonesia. Artinya, setiap pembangunan di daerah tidak hanya diperuntukkan dan harus dilaksanakan oleh orang “asli” daerah itu saja. Dalam kaitannya antara pemerintah dengan rakyat, persoalan adanya kemungkinan prasangka etnik bertimbalbalik antara pejabat dengan rakyat yang berasal dari etnik atau daerah yang berbeda.
Apabila prasangka ini terus dikembangkan maka benih dendam sosial akan menjadi batu sandungan dan “bom waktu” terhadap pembangunan di daerah. Kita sepakat untuk hidup bersama dalam kondisi yang berbeda, sehingga kita mesti menerima perbedaan-perbedaan itu. Sikap etnosentrisme harus dihilangkan dalam pembangunan daerah. Mana yang lebih serius dalam mengabdi pada suatu daerah dan berguna bagi pembangunan daerah, mereka mempunyai hak untuk berperan serta. Jadi Otonomi Daerah bukanlah otonomi etnis kemudian menjadi dominasi etnis dalam proses pembangunan di daerah.
Selanjutnya apabila kita lihat UU No. 22/ 1999 maka kita bisa menjabarkan pokok pokok nasionalisme yang perlu diperhatikan oleh setiap daerah dalam melaksanakan pembangunan sebagai pencerminan kedaulatan negara dan pokok-pokok otonomi sebagai pencerminan kedaulatan rakyat. Pokok-pokok kedaulatan negara dalam UU tersebut dapat kita lihat pada:
1. Pasal 7 ayat 2 : Kewenangan bidang lain, meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara macro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi dn standardisasi nasional.
2. Pasal 22: DPRD berkewajiban:
a. Mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan RI.
b. Mengamalkan Pancasila dan UUD 1945, serta menaati segala peraturan perundang-undangan.
3. Pasal 31 ayat 1: Kepala Daerah Propinsi disebut Gubernur yang karena jabatannya adalah juga sebagai wakil pemerintah.
4. Pasal 43 : Kepala Daerah mempunyai kewajiban:
a. mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana cita-cita Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945.
b. memegang teguh Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
Adapun pokok-pokok tentang kedaulatan rakyat dapat kita lihat pada:
1. Pasal 1 poit h: Otonomi Daerah adalah kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan perundang-undangan.
2. Pasal 4 ayat 2: Daerah-daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masing-masing berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarki satu sama lain.
3. Pasal 7 ayat 1: Kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain.
4. Pasal 22:
a. Membina demokrasi dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
b. Meningkatkan kesejahteraan rakyat di Daerah berdasarkan demokrasi ekonomi.
c. Memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, menerima keluhan dan pengaduan masyarakat, serta memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya.
5. Pasal 43: Kapala Daerah mempunyai kewajiban:
a. Menghormati kedaulatan rakyat.
b. Menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan.
c. Meningkatkan taraf kesejahteraan rakyat.
d. Memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat.
Prinsip ketiga dari nasionalisme adalah dapat bekerjasama. Ini berarti bahwa dalam setiap proses pembangunan di daerah perlu dibudayakan kerjasama baik interen subjek pembangunan di dalam daerah maupun antar daerah. Setiap daerah otonom perlu membuka alternatif kerjasama antara satu dengan lainnya, perlu menjembatani berbagai kepentingan antara rakyat dari daerah satu dengan daerah lain, dan sebagainya. Perlu dilakukan dialog dan lobi-lobi antar daerah untuk mengatur SDA yang ada sehingga tidak saling berugikan antara daerah yang satu dengan daerah yang lain. Sebagai contoh misalnya penggunaan dan pemanfaatan sumber air, masalah sungai, listrik, sarana dan prasarana publik , dan lain-lain.
Dalam Pembangunan Daerah perlu ditekankan adanya: prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah, dalam pelaksanaannya. Jangan sampai pembangunan di daerah meninggalkan peran serta masyarakat, apalagi mengorbankan mereka. Sejarah masa lalu membuktikan bahwa krisis multisegi bangsa Indonesia saat ini sebenarnya bukan terletak pada melemahnya nasionalisme, tetapi karena terjadinya proses ketidakadilan struktural dalam sistem masyarakat Indonesia. Musuh utama nasionalisme dalam pembangunan yang berkembang saat ini adalah banditisme modern struktural; ideology pemaksaan dan manipulasi kekuasaan yang kolutif oleh beberapa elite terhadap massa rakyat. Oleh karena itu dalam pembangunan daerah semangat nasionalisme perlu dilembagakan dengan cara melakukan:
1. Peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat
2. Pengembangan kehidupan demokrasi
3. Keadilan
4. Pemerataan dan
5. Pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah dan antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan NKRI.
Salah satu hal yang penting tetapi selalu dianggap remeh dan disepelekan adalah pentingnya wawasan sejarah dalam pembangunan daerah. Wawasan sejarah akan menjelaskan nasionalisme bangsa, dan nasionalisme akan mengarahkan pembangunan. Dalam konteks ini, pemahaman terhadap sejarah lokal sangat penting bagi proses pembangunan daerah.
Selain untuk “memperkuat” kehidupan berbangsa dan bernegara, Sejarah Lokal sangat penting untuk memberi pemahaman akan peristiwa-peristiwa masa sekarang dan memprediksikan peristiwa yang akan datang pada suatu wilayah/lokal tertentu. Perubahan aliran dana dan Potensi Ekonomi ke Daerah merupakan peluang yang sangat berharga bagi daerah yang bersangkutan untuk pengambangan diri. Paling tidak, sesuai dengan pasal 11 UU No. 22/ 1999 telah ditunjuk bidangbidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Bidang-bidang tersebut meliputi:
1. Pekerjaan Umum
2. Kesehatan
3. Pendidikan
4. Pertanian
5. Industri dan Perdagangan
6. Penanaman Modal
7. Tenaga Kerja.
Berdasarkan bidang yang menjadi “bintang” itu, sesungghnya setiap daerah membutuhkan pemahaman terhadap bidang-bidang tersebut dengan pendekatan historis. Mengapa? Karena penentuan langkah dan kebijakan dalam menggarap bidang tidak bisa dilepaskan dengan akar sejarahnya. Pada dasarnya setiap bidang yang akan dikembangkan itu mempunyai problematikanya sendiri. Problematika itu tidak lain merupakan produk masa lampaunya. Oleh karena itu untuk bisa menjawab berbagai persoalan yang berkembang sekarang, maka kajian historis sangat penting. Jadi setiap bidang membutuhkan analisis dan kajian sejarah. Dengan sejarah lokal akan diperoleh trend-trend dan pola-pola perkembangan dari suatu bidang, sehingga untuk menentukan arah dan kebijakan masa depan bisa bercermin pada kajian sejarah itu sendiri, seperti Sejarah Kesehatan, Sejarah Industri dan Perdagangan, Sejarah Pendidikan, Sejarah Pertanian, dll.



BAB III
PENUTUP

Pentingnya nasionalisme dalam pembangunan nasional memang jelas. Nasionalisme berperan dalam pembinaan kharakter bangsa, pengawal nation building, dan pengerat integrasi nasional. Untuk itu diperlukan upaya pengembangan dan pelembagaan nasionalisme secara serius dan terus menerus, mengingat nation building itu sendiri berjalan dan berlangsung secara terus menerus.
Mengingat pada masa sekarang proses integrasi nasional sedang dipertaruhkan, dan nasionalisme sedang diuji efektivitasnya bagi para pemimpin dan bangsa Indonesia pada umumnya, maka mutlak diaplikasikan semangat kesatuan dan persatuan, cinta tanah air, solidaritas, semangat bekerjasama, kemandirian, demokrasi, mengaktifkan peran serta masyarakat dalam pembangunan untuk mewujudkan keadilan sosial.
Sejarah Lokal juga sangat berperan untuk memberikan bahan analisis dan informasi tentang suatu daerah dari berbagai bidang yang dimiliki oleh daerah yang bersangkutan. Oleh karena itu dalam penerapan Otonomi Daerah dan pembangunan daerah pengungkapan Sejarah Lokal di daerah menjadi sangat urgen untuk dilakukan agar dalam pelaksanaan Otonomi Daerah tersebut tidak melenceng dari arah berbangsa dan bernegara.


Daftar Pustaka

Kartodirdjo, Suyatno,” Kajian Sejarah Lokal dalam Kerangka Otonomi Daerah dan Integrasi Bangsa”,makalah Seminar Regional Jateng DIY, “Antara Sejarah Lokal dan Otonomi Daerah”,FIS UNNES, 22 November 2000
Kartodirdjo, Sartono , Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 (Jakarta: Gramedia, 1987)
http://eprints.undip.ac.id/1104/2/Otonomi_dan_Pembangunan_Daerah.pdf